Dalam pidatonya di depan Princenton Theological Seminary 19 Mei 1939, Albert Einstein berkata :
'Ilmu pengetahuan hanya dapat diciptakan oleh mereka yang dipenuhi gairah untuk mencapai kebenaran dan pemahaman. Tetapi, sumber perasaan itu berasal dari tataran agama. Termasuk di dalamnya adalah keimanan kepada kemungkinan bahwa semua aturan yang berlaku di dunia wujud itu bersifat rasional. Artinya, dapat dipahami oleh akal.
Saya tidak dapat membayangkan ada ilmuwan sejati yang tidak mempunyai keimanan mendalam seperti itu. Keterangan ini dapat diungkap dengan gambaran : ilmu pengetahuan tanpa agama lumpuh, agama tanpa ilmu pengetahuan buta"
Ilmu pengetahuan menghadiahkan lentera kepada agama agar dapat melihat cahaya di dalam kegelapan supaya tidak terperosok ke dalam takhayul dan kepercayaan palsu.
Orang yang beragama tanpa ilmu pengetahuan cenderung mempercayai apa saja. Ia menangkap dan 'memaknai' fenomena di sekitarnya hanya dengan perasaan ( emosi ) saja. Ia tidak bisa membedakan antara dusta dan kebenaran, antara khayalan dan kenyataan , antara ilusi dan fakta , antara fitnah dan kejujuran serta antara kehinaan dan kesucian. Akalnya menjadi mandul.
Dalam perjalanan sejarah , acap kali bermunculan para 'penjarah di jalan Tuhan'. Mereka menjual kepercayaannya kepada orang orang awam yang mendambakan pengalaman keberagamaan dan kehangatan spiritual. Diantara bentuk bentuk dari 'agama minus ilmu pengetahuan' semacam ini ialah gerakan takfiri dan pseudomistik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar