Setiap dua kali
dalam seminggu , seorang ustadz yang amat bersahaja yang tinggal di
sebuah kampung kecil pergi ke kota untuk mengajarkan anak seorang kaya membaca Al Qur'an. Untuk mencapai rumah orang kaya tersebut, si
ustadz menggunakan sepedanya yang sudah tua dan butut. Kadang kadang ia menaiki
angkot. Dan, jika tidak punya uang, ia paksakan untuk berjalan kaki.
Dia berupaya agar tetap bisa datang ke rumah orang kaya tersebut walaupun kondisi kesehatannya terkadang tidak begitu baik.
Dia berupaya agar tetap bisa datang ke rumah orang kaya tersebut walaupun kondisi kesehatannya terkadang tidak begitu baik.
Di akhir bulan, ia datang ke orang kaya tersebut untuk meminta uang jasa atas jerih payahnya selama ini mengajarkan anaknya
membaca Al Qur'an.
Orang kaya itu berkata :
'Bapak Ustadz yang sangat saya hormati. Saya amat menghargai segala jerih payah dan upaya pak ustadz untuk mengajarkan anak saya membaca Al Qur'an'.
'Saya bukannya tidak mau memberikan uang jasa kepada pak ustadz, namun jika saya memberikan uang jasa kepada pak ustadz, saya khawatir akan mengotori rasa ikhlas pak ustadz yang telah sungguh sungguh mengajari anak saya dengan sepenuh hati'.
'Saya mohon ma'af, tidak bisa memberikan uang jasa itu'.
Ustadz terdiam membisu dan tidak menyangka si orang kaya itu akan berkata demikian. Terbayang di benaknya, hari hari yang amat melelahkan dan kelelahan fisik yang harus dialaminya agar anak orang kaya itu tetap mendapatkan ajaran dari dirinya. Kata - kata ikhlas yang terlontar dari mulut orang kaya itu telah memukul dirinya dan membuatnya tidak lagi begitu bersemangat untuk meneruskan pekerjaannya itu. Diapun meninggalkan rumah orang kaya itu.
Selama dalam perjalanan pulang, dia bertanya tanya dalam hatinya, 'Bukankah rasa ikhlas itu urusan dirinya dengan Tuhannya ?. Bukankah rasa ikhlas atau tidak ikhlas, hanya Tuhannya yang tahu ?.
Kenapa orang kaya itu harus mencampuri urusan Tuhan ?.
'Bukankah jauh lebih baik jika ia menunaikan hak haknya dengan membayarkan uang jasanya dan membantu dirinya yang miskin dan papa ini ketimbang mengurusi hal hal yang bukan urusannya ?.
Sungguh, kata - kata iklas telah membunuhku.....!
Orang kaya itu berkata :
'Bapak Ustadz yang sangat saya hormati. Saya amat menghargai segala jerih payah dan upaya pak ustadz untuk mengajarkan anak saya membaca Al Qur'an'.
'Saya bukannya tidak mau memberikan uang jasa kepada pak ustadz, namun jika saya memberikan uang jasa kepada pak ustadz, saya khawatir akan mengotori rasa ikhlas pak ustadz yang telah sungguh sungguh mengajari anak saya dengan sepenuh hati'.
'Saya mohon ma'af, tidak bisa memberikan uang jasa itu'.
Ustadz terdiam membisu dan tidak menyangka si orang kaya itu akan berkata demikian. Terbayang di benaknya, hari hari yang amat melelahkan dan kelelahan fisik yang harus dialaminya agar anak orang kaya itu tetap mendapatkan ajaran dari dirinya. Kata - kata ikhlas yang terlontar dari mulut orang kaya itu telah memukul dirinya dan membuatnya tidak lagi begitu bersemangat untuk meneruskan pekerjaannya itu. Diapun meninggalkan rumah orang kaya itu.
Selama dalam perjalanan pulang, dia bertanya tanya dalam hatinya, 'Bukankah rasa ikhlas itu urusan dirinya dengan Tuhannya ?. Bukankah rasa ikhlas atau tidak ikhlas, hanya Tuhannya yang tahu ?.
Kenapa orang kaya itu harus mencampuri urusan Tuhan ?.
'Bukankah jauh lebih baik jika ia menunaikan hak haknya dengan membayarkan uang jasanya dan membantu dirinya yang miskin dan papa ini ketimbang mengurusi hal hal yang bukan urusannya ?.
Sungguh, kata - kata iklas telah membunuhku.....!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar