http://infosemata.blogspot.com/2012/08/apakah-arti-dari-etika-kedokteran-itu.html |
Sungguh, baru kali ini saya menghadiri Scientific Meeting dimana
sebuah sesi yang bernama Entrepreneurship Program diletakkan berurutan
setelah Plenary Lecture. Mungkin Panitia menganggap sesi ini
sedemikian pentingnya sehingga ditempatkan pada posisi yang begitu
terhormat. Dan, baru kali ini juga saya memperoleh sebuah istilah baru, Doctorpreneurship
!. Terminologi Doctorpreneurship ini muncul pada presentasi dr.
Darwan Purba yang berjudul ; “Doctorpreneur : Is It Possible ?”.
Diantara presentator yang berbicara pada sesi Entrepreneurship Program
ini ialah Bpk. Chairul Tanjung, konglomerat ‘kelas kakap’ ( Health Service as Prospective Business in Indonesia ), Bpk. Robby Djohan, yang dalam programme highlights , disebut sebagai CEO of Various Big Company in Indonesia ( Good Inverstment in Health Service Bussiness ) serta Brigjen TNI ( Purn) Dr.Mardjo Subiandono, Spesialis Bedah ( How to get more profit in the hospital ) . Dan tentu saja, dr. Darwan Purba, SpM, sebagai founder Jakarta Eye Centre, yang dikenal kiprahnya dan telah berhasil memperoleh national award sebagai entrepreneur yang sukses.
Pesan moral yang ingin digulirkan lewat konsep pemikiran ( paradigma ) Doctorpreneurship ini sebetulnya sangat visioner.
Disebutkan, bahwa sebagai dokter mata Indonesia, kita harus ‘melek’
terhadap perkembangan teknologi dan ekonomi baik yang berskala global
maupun regional . Kita harus menumbuhkan semangat kewiraswastaan
khususnya terkait dengan bisnis di bidang kesehatan mata. Kita tidak
boleh hanya sekedar menjadi penonton yang duduk diam berpangku tangan,
terlebih lebih lagi di saat ‘pihak asing’ menyerbu ‘rumah’ kita .
Kita harus berani mengambil risiko untuk ikut ‘bermain’ di dalamnya. Oleh salah seorang pembicara, hal ini diilustrasikan dengan seekor
bebek yang berani bersusah payah meniti jembatan untuk menyeberang
kali sementara teman – temannya sesama bebek menonton di tepi kali.
Dalam kesempatan lain, Brigjen TNI (Purn) Dr. Marjo Subiandono, SpB,
secara rinci dan teknis, mendemonstrasikan teknik teknik bagaimana
kita bisa mencapai break event point ( BEP ) dan meraup keuntungan dari para pasien lewat investasi alat – alat kesehatan yang harganya milyaran rupiah !.
Paradigma Doctorpreneurship ini segera dikritik oleh Robby Djohan.
Menurut ekonom kondang ini, adalah mustahil untuk mengawinkan ‘dokter’
dengan ‘pebisnis ( pedagang ) ’ di dalam satu personalitas’. Kenapa
?. Karena, kedua profesi ini memiliki sejumlah watak yang – secara inherent-
bertolak belakang secara antagonistis. Ambil contoh, salah satu
prinsip dalam sistem ekonomi kapitalis yang saat sekarang ini
mendominasi dunia bisnis ialah berusaha memperoleh keuntungan sebesar –
besarnya dengan modal sekecil – kecilnya . Atau dalam kacamata dunia
bisnis misalnya, para pebisnis adalah para competitor yang harus saling bersaing dan 'memakan' satu sama lain.
Pertanyaannya ialah, apakah watak dunia bisnis semacam ini senafas
dengan karakter seorang dokter yang dituntut bekerja tanpa pamrih,
keharusan melayani dengan tulus dan ikhlas serta penuh kasih sayang,
peduli terhadap sesama , memperlakukan rekan sejawatnya yang lain
seperti saudara sekandung serta tidak memikirkan keuntungan materi
demi memperkaya diri pribadi dalam melayani pasien ?. Motto itu
menjawab ; ” menjadi dokter itu adalah baik , menjadi pedagang juga
baik, dokter yang pedagang tidak baik “.
Ketika sesi tanya jawab dibuka, sejumlah audience, mengajukan pertanyaan maupun tanggapan, diantaranya Dr. Sribudi Rahardjo, SpM dan Prof.dr. Sidarta Ilyas, SpM (K) .
Di daerah pinggiran Jakarta seperti Bekasi, tutur dr. Sribudi
Rahardjo,SpM, ketika menceritakan pengalaman pribadinya, pasien bahkan
tidak sungkan – sungkan melakukan ‘tawar menawar’ dengan dokternya
soal tarif biaya operasi katarak . Kenyataan menunjukkan bahwa
sebagian masyarakat lainnya tidak mampu membiayai secara mandiri
operasi katarak yang harus mereka jalani.
Menurut hemat saya, ini semua terjadi karena kemampuan daya beli
masyarakat di daerah yang masih amat rendah. Karena itu, mempromosikan
konsep doctorpreuneurship sebagai basis pemikiran berdirinya ‘pusat
pelayanan kesehatan mata ekslusif berbiaya tinggi ‘ yang tidak
terjangkau oleh masyarakat di daerah justru kontraproduktif dengan
upaya penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan yang diderita
oleh sebagian besar masyarakat miskin atau masyarakat dengan tingkat
sosioekonomi lemah. Jangan – jangan, tema Temu Ilmiah ini, sindir dr.
Sribudi, harus kita ganti menjadi 'Blindness is Our Opportunity'.
Mungkin beliau khawatir bahwa persoalan kebutaan di Indonesia akan
menjadi peluang untuk mendulang keuntungan materi sebesar besarnya !.
Munculnya sejumlah kekhawatiran akan terinternalisasinya watak dan
perilaku pebisnis ke dalam diri seorang dokter’ yang kemudian
ditengarai dapat menampilkan sikap dan perilaku yang bertabrakan dengan
Sumpah Dokter dan Kode Etik Kedokteran Indonesia, pada akhirnya
mencuatkan sejumlah pertanyaan.
Pertama, apakah memang sudah saatnya sekarang kita menggadang – gadang
pentingnya paradigma Doctorpreneurship ini di Indonesia ?.
Kedua, dengan penerapan konsep Doctorpreneurship seperti yang disampaikan di dalam Temu Ilmiah itu, bisakah kita berharap dokter mata di Indonesia masih memiliki spirit 'Blindness is Our responsibility' sebagai bagian dari upaya kolektif mereka bersama untuk mengatasi masalah kebutaan di Indonesia ?.
Kedua, dengan penerapan konsep Doctorpreneurship seperti yang disampaikan di dalam Temu Ilmiah itu, bisakah kita berharap dokter mata di Indonesia masih memiliki spirit 'Blindness is Our responsibility' sebagai bagian dari upaya kolektif mereka bersama untuk mengatasi masalah kebutaan di Indonesia ?.
Padahal kita tahu - seperti sudah dipaparkan - bahwa Indonesia
termasuk diantara negara yang memiliki orang buta terbanyak di dunia
dan sebagian besar penyandang kebutaan itu berada pada lapisan
masyarakat dengan ekonomi lemah atau miskin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar