Selasa, 29 Oktober 2013

MUNGKINKAH DOKTER BER-BISNIS ?

                                  
http://infosemata.blogspot.com/2012/08/apakah-arti-dari-etika-kedokteran-itu.html
Tatkala membaca sebuah motto yang berkaitan dengan hubungan antara profesi dokter dan pedagang , ingatan saya melayang kepada perbincangan menarik di sebuah acara Temu Ilmiah  dokter spesialis mata pada penghujung Maret 2012. Temu Ilmiah itu diberi tema 'Blindness Is Our Responsibility' . Dengan tema ini, setidaknya Temu Ilmiah itu ingin menegaskan bahwa bahwa masalah kebutaan di Indonesia merupakan tanggung jawab bersama para dokter spesialis mata di Indonesia. Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki angka kebutaan tertinggi di kawasan negara Asia.

Sungguh, baru kali ini saya menghadiri Scientific Meeting dimana sebuah sesi yang bernama Entrepreneurship Program diletakkan berurutan setelah Plenary Lecture. Mungkin Panitia menganggap sesi ini sedemikian pentingnya sehingga ditempatkan pada posisi yang begitu terhormat. Dan, baru kali ini juga saya memperoleh sebuah istilah baru, Doctorpreneurship !. Terminologi Doctorpreneurship ini muncul pada presentasi dr. Darwan Purba yang berjudul ; “Doctorpreneur : Is It Possible ?”.

Diantara presentator yang berbicara pada sesi Entrepreneurship Program ini ialah Bpk. Chairul Tanjung, konglomerat ‘kelas kakap’ ( Health Service as Prospective Business in Indonesia ), Bpk. Robby Djohan, yang dalam programme highlights , disebut sebagai CEO of Various Big Company in Indonesia   ( Good Inverstment in Health Service Bussiness ) serta  Brigjen TNI ( Purn) Dr.Mardjo Subiandono, Spesialis Bedah ( How to get more profit in the hospital ) . Dan tentu saja, dr. Darwan Purba, SpM,  sebagai founder Jakarta Eye Centre, yang dikenal kiprahnya dan telah berhasil memperoleh national award sebagai entrepreneur yang sukses.

Pesan moral yang ingin digulirkan lewat konsep pemikiran ( paradigma ) Doctorpreneurship ini sebetulnya sangat  visioner.
Disebutkan, bahwa sebagai dokter mata Indonesia, kita harus ‘melek’ terhadap perkembangan teknologi dan ekonomi baik yang berskala global maupun regional . Kita harus menumbuhkan semangat kewiraswastaan khususnya terkait dengan bisnis di bidang kesehatan mata. Kita tidak boleh hanya sekedar menjadi penonton yang duduk diam berpangku tangan, terlebih lebih lagi di saat ‘pihak asing’ menyerbu ‘rumah’ kita . Kita harus berani mengambil risiko untuk ikut  ‘bermain’ di dalamnya. Oleh salah seorang pembicara, hal ini diilustrasikan dengan seekor bebek  yang berani bersusah payah meniti jembatan untuk  menyeberang  kali  sementara  teman – temannya sesama bebek menonton di tepi kali. Dalam kesempatan lain, Brigjen TNI (Purn) Dr. Marjo Subiandono, SpB, secara rinci dan teknis, mendemonstrasikan teknik teknik bagaimana kita bisa mencapai break event point ( BEP )  dan meraup keuntungan dari para pasien   lewat  investasi alat – alat kesehatan yang harganya milyaran rupiah !.

Paradigma Doctorpreneurship ini segera dikritik oleh Robby Djohan. Menurut ekonom kondang ini, adalah mustahil untuk mengawinkan ‘dokter’ dengan ‘pebisnis ( pedagang ) ’ di dalam satu personalitas’. Kenapa ?. Karena, kedua profesi ini memiliki sejumlah watak yang – secara inherent- bertolak belakang secara antagonistis. Ambil contoh, salah satu prinsip dalam sistem  ekonomi kapitalis yang saat sekarang ini mendominasi dunia bisnis ialah berusaha memperoleh keuntungan sebesar – besarnya dengan modal sekecil – kecilnya . Atau dalam kacamata dunia bisnis misalnya, para pebisnis   adalah para competitor yang harus saling  bersaing  dan 'memakan' satu sama lain.

Pertanyaannya ialah, apakah watak dunia bisnis  semacam ini senafas dengan karakter seorang dokter yang dituntut bekerja tanpa pamrih, keharusan melayani dengan tulus dan ikhlas serta penuh kasih sayang, peduli terhadap sesama , memperlakukan rekan sejawatnya yang lain  seperti saudara sekandung serta tidak memikirkan keuntungan materi demi memperkaya diri pribadi dalam melayani pasien ?.  Motto itu menjawab ; ” menjadi dokter itu adalah baik , menjadi pedagang juga baik, dokter yang pedagang tidak baik “.

Ketika sesi tanya jawab dibuka, sejumlah audience, mengajukan pertanyaan maupun tanggapan, diantaranya Dr. Sribudi Rahardjo, SpM dan Prof.dr. Sidarta Ilyas, SpM (K) .
Di daerah pinggiran Jakarta seperti Bekasi, tutur dr. Sribudi Rahardjo,SpM, ketika menceritakan pengalaman pribadinya, pasien bahkan tidak sungkan – sungkan melakukan ‘tawar menawar’ dengan dokternya soal tarif biaya operasi katarak . Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian masyarakat lainnya tidak mampu membiayai secara mandiri operasi katarak yang harus mereka jalani.

Menurut hemat saya, ini semua terjadi karena kemampuan daya beli masyarakat di daerah yang masih amat rendah. Karena itu, mempromosikan konsep doctorpreuneurship sebagai basis pemikiran  berdirinya ‘pusat pelayanan kesehatan mata ekslusif berbiaya tinggi ‘ yang tidak terjangkau oleh masyarakat di daerah justru kontraproduktif dengan upaya penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan yang diderita oleh sebagian besar masyarakat miskin atau masyarakat dengan tingkat sosioekonomi lemah. Jangan – jangan, tema Temu Ilmiah ini, sindir dr. Sribudi, harus kita ganti menjadi  'Blindness is Our Opportunity'. Mungkin beliau khawatir bahwa persoalan kebutaan di Indonesia akan menjadi peluang untuk  mendulang keuntungan materi sebesar besarnya !.

Munculnya sejumlah  kekhawatiran akan terinternalisasinya  watak dan perilaku pebisnis ke dalam  diri seorang dokter’  yang kemudian ditengarai dapat menampilkan sikap dan perilaku yang bertabrakan dengan Sumpah Dokter dan Kode Etik Kedokteran Indonesia, pada akhirnya mencuatkan sejumlah pertanyaan.
Pertama, apakah memang sudah saatnya sekarang kita menggadang – gadang pentingnya paradigma Doctorpreneurship ini di Indonesia ?.
Kedua, dengan penerapan konsep Doctorpreneurship seperti yang disampaikan di dalam Temu Ilmiah itu, bisakah kita berharap dokter mata di Indonesia masih memiliki spirit 'Blindness is Our responsibility' sebagai bagian dari upaya kolektif  mereka bersama untuk mengatasi masalah kebutaan di Indonesia ?.

Padahal kita tahu - seperti sudah dipaparkan - bahwa Indonesia termasuk  diantara negara yang memiliki orang buta terbanyak di dunia  dan sebagian besar penyandang kebutaan  itu berada pada lapisan masyarakat dengan ekonomi lemah atau miskin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar