![]() |
http://dc715.wordpress.com/2012/08/10 |
Karena
itu tidak heran, akhir akhir ini kita menyaksikan banyaknya bermunculan
fakultas fakultas kedokteran, bak jamur tumbuh di musim hujan ,
khususnya di universitas universitas swasta. Sebagian besar Pendidikan
Dokter di fakultas fakultas ini dijalankan dengan sarana dan pra sarana
yang se'adanya', infrastruktur yang tidak memadai, staf pengajar yang
kurang kualitatif dan sistim pendidikan yang tidak kredibel. Prinsip
mereka, pokoknya buka saja dulu, masalah kualitas urusan belakangan !.
Mereka
umumnya tidak memiliki 'hospital teaching' sebagaimana halnya fakultas
fakultas kedokteran di universitas negeri yang selama ratusan tahun
diyakini berfungsi sebagai kawah candra dimuka untuk menggodok dan
menempa calon calon dokter dengan tradisi dan kultur khas-nya.
Anehnya,
mereka tidak malu malu mematok biaya yang luar biasa besarnya untuk
bisa menempuh pendidikan dokter di fakultasnya. Pemerintah diam.
Parlemen juga bungkam. Kita tidak bisa membayangkan dokter kualitas
seperti apa yang akan dilahirkan dari institusi pendidikan semacam ini
?.
Di satu sisi, aturan dan regulasi yang berlaku di negara ini
memang sangat tidak kondusif untuk kehidupan profesi dokter. Lihatlah,
betapa merananya nasib para dokter di Indonesia.
Setelah menjalani
masa pendidikan dokter yang sangat lama , mereka harus menjalani
program dokter internship dengan memperoleh honor sebesar Rp. 1.2 juta
per bulan, tidak perduli dimanapun dia ditempatkan di seluruh pelosok
Indonesia. Itupun, katanya, pembayaran gajinya dirapel setiap tiga bulan
sekali. Tanpa uang kost, tanpa uang makan dan tanpa uang transport !.
Lantas,
jika ia berhasil terpilih menjadi pegawai negeri sipil, dia hanya akan
memperoleh golongan 3B. Si dokter akan mendapatkan gaji pokok lebih
kurang Rp.2.2 juta plus tunjangan fungsional sebesar Rp.300 ribu,
sehingga total pendapatan yang ia bawa pulang ke rumah tidak lebih dari
Rp.2.6 juta. Lalu, bagaimana kalau kerja di klinik klinik swasta ?.
Samimawon !.
Tahukah anda bahwa uang duduk seorang dokter umum di
Klinik 24 Jam misalnya, rata rata Rp. 100 ribu dalam sehari semalam.
Lebih mengenaskan lagi, untuk jasa mediknya si dokter cukup diberi upah
1000 perak ( baca sekali lagi, seribu perak ! ) per pasien !. Untuk
memarkir sebuah sepeda motor saja, anda harus merogoh kocek 2000 perak.
Jadi, rupanya tukang parkir yang kerjanya santai dan masih bisa ketawa
ketiwi itu lebih besar pendapatannya dibandingkan dokter yang kerjanya
'babak belur 'sepanjang siang dan malam serta harus 'melek' melayani
pasien pasiennya !. Ironis !
Tidak sampai disini kisah kemalangan sang dokter.
Di
tengah tengah masyarakat, profesi dokter dipuja puji sebagai profesi
yang sangat luhur dan suci. Karena itu, seorang dokter dituntut harus
bekerja secara sosial, tulus dan ikhlas serta sedapat mungkin jangan
memikirkan upah yang akan diperolehnya. Dia harus siap 24 jam sehari
semalam jika pasien membutuhkannya dan pengobatan yang diberikannya
haruslah bisa memuaskan pasien.
Di sisi lain, dokter juga
diharapkan untuk mengabdi habis habisan, memperbanyak dosis kesabaran
serta harus bersedia berkorban demi terlaksananya berbagai kegiatan dan
program yang dijalankan oleh pemerintah, seperti 'Kota Sehat' dan
berbagai program berbau 'politik' lainnya.
Namun, ketika dokter
dirundung sial karena adanya 'dugaan kesalahan pengobatan', misalnya ,
para sejawat kita ini segera dihujat di berbagai media publik, dituduh
melakukan malpraktek, seakan akan kesalahan yang belum terbukti
kebenarannya itu merupakan dosa tercela yang tak terampuni , yang harus
dipikul sendiri oleh mereka, bahkan mungkin juga oleh keluarganya.
Lantas,
bila perlu jadikan mereka sebagai pesakitan dan seret mereka ke depan
sidang pengadilan dengan tuntutan minimal 500 juta rupiah atau
penjarakan !. Tidak ada pembelaan buat kita. Semuanya diam membisu.
Sungguh, malang benar nasib dokter di Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar