Kamis, 06 November 2014

'EFEK SAMPING' JKN-BPJS KESEHATAN


Program asuransi sosial Jaminan Kesehatan Nasional ( JKN ) dengan BPJS Kesehatan sebagai penyelenggaranya mulai diterapkan pada 1 Januari 2014. Seluruh rumah sakit di Indonesia secara bertahap diwajibkan menjalankan program JKN-BPJS ini.
Salah satu masalah yang kerap dilontarkan terkait dengan penerapan JKN-BPJS ini adalah pemberlakuan tarif pelayanan medik versi INA-CBG's yang dinilai tidak memenuhi standar minimal pembiayaan pelayanan medik.

Buat rumah sakit Pemerintah Pusat/Kementerian maupun Daerah yang mendapat pasokan anggaran dana operasional , mungkin hal ini tidak begitu menjadi persoalan besar. Namun, bagi rumah sakit rumah sakit nonpemerintah/swasta yang hanya mengandalkan sumber biaya operasionalnya semata mata berasal dari pelayanan medik, maka menjalankan program JKN-BPJS berarti akan menuai  'kerugian dan kebangkuran' keuangan rumah sakit.
Akibatnya, mereka melaksanakan program  pemerintah ini secara 'terpaksa' dan 'setengah hati' .

Berdasarkan pengamatan dan pengalaman kami selama ini, ada beberapa modus yang digunakan oleh beberapa rumah sakit untuk 'meng-akal-i' keadaan ini ,diantaranya adalah :
  1. Mengurangi nilai renumerasi dari para tenaga medis/dokter yang melakukan tindakan medik terhadap pasien JKN-BPJS.
  2. Membatasi  jumlah pasien JKN-BPJS rawat inap.
  3. Membatasi atau meminimalisir pemberian obat - obatan terhadap pasien JKN-BPJS
  4. Menolak pasien JKN-BPJS 'secara halus', khususnya pasien pasien yang memerlukan tindakan di IGD dan ICU.
  5. Merekayasa suatu tindakan medik terhadap pasien JKN-BPJS agar nilai tarifnya menjadi lebih besar.
  6. Menginstuksikan kunjungan pasien JKN-BPJS secara berulang ulang
  7. Meminta biaya tambahan dalam suatu tindakan medik kepada pasien JKN-BPJS
  8. Merujuk atau 'memindahkan' pasien JKN-BPJS kepada fasilitas kesehatan yang lebih lanjut/tinggi.

    Implikasi penerapan modus - modus di atas  akan menyebabkan :

    • Para tenaga medis/dokter tidak lagi bekerja berdasarkan 'evidence based medicine', tetapi kini berubah menjadi 'cost based medicine' atau 'profit based medicine'.
                                 
    • Pelayanan medik tidak lagi difokuskan kepada 'pemulihan/penyembuhan' penyakit, tetapi diarahkan kepada 'pemasukan/pendapatan' fasilitas medis yang bersangkutan supaya tidak mengalami kerugian.

      • Para tenaga medis/dokter tidak lagi dihargai 'jasa dan upayanya' dalam melayani pasien karena nilai renumerasi yang mereka terima amat tidak sesuai dengan nilai renumerasi standar minimal.

      • Kualitas pelayanan medik menjadi tidak optimal sehingga berdampak kepada penyembuhan penyakit pasien.

      • Kemungkinan terjadinya kasus kasus malpraktek menjadi lebih besar sehingga potensi penuntutan hukum terhadap tenaga medis/dokter maupun rumah sakit menjadi lebih tinggi.

      Semoga Menteri Kesehatan yang baru dapat segera membenahi keadaan ini.

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar