Minggu, 03 November 2013

Egoisme Spiritual

Syahdan, 2 orang pendekar sufi abad pertengahan saling berbincang bincang.
Sufi yang satu bertanya kepada temannya, "Ceritakanlah, apa yang menyebabkan kamu sampai kepada keadaanmu seperti sekarang ini ?".

                            https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjCeMiuSqPVZv31iE9k2bj-VX-xS_ifC8PWcvZOiA9nn28DA18jRE8BI-1z3ws-iq8NjQPq5Eqcyqz0kqyoKahC14lDlj3GPDWR_HOru_SVHDf1ySTjzjjliy68Wq7i-SxqKTT14oh0R7Ws/s1600/am-siap-santap-cacing.png

Dia menjawab, "Pada suatu hari aku pergi ke padang pasir. Disana, aku melihat seekor burung yang tergeletak dan hampir mati karena kelaparan. Sesaat kemudian, di angkasa raya aku melihat seekor burung yang terbang melayang layang ; di paruhnya ada beberapa ekor cacing. Tiba tiba, dia turun menukik ke tempat burung yang tergeletak itu lalu menjatuhkan cacing cacing itu  ke tanah untuk dimakan burung yang tergeletak. Si burungpun selamat.

Aku betul betul takjub. Aku berfikir, seekor burung yang tergeletak dan tak berdaya di padang pasir yang sepi saja masih mendapatkan rezeki  dari Tuhan. Karena itulah, aku tinggalkan perdaganganku, aku sibukkan diriku hanya semata mata untuk beribadah kepada Tuhan".

"Luar biasa kisahmu, kawan !", kata temannya, "Namun, yang masih menjadi tanda tanya besar di benakku ialah kenapa kamu memilih menjadi burung yang tergeletak  tak berdaya itu dan tidak memilih menjadi burung yang mengantarkan makanan kepada temannya itu ? ".

Perbincangan pendek di atas sebetulnya  mewakili pandangan  sebagian kita tentang fungsi agama dan kepercayaan di tengah tengah masyarakat . Ada sebagian orang yang menggunakan agama atau kepercayaan mereka untuk sekedar memuaskan dahaga spiritual  atau merasakan nikmatnya 'menghadirkan' Tuhan di dalam hatinya , tanpa  perduli dengan nasib orang orang yang menderita di sekelilingnya atau bahkan tidak jarang menzalimi mereka.

Beberapa waktu yang silam, kita dikejutkan dengan terungkapnya sebuah kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh seseorang yang dikenal sebagai 'master dan guru spiritual' . Kasus yang samapun terjadi 14 abad yang lalu. Kepada seorang Nabi di tanah Arab pernah dilaporkan tentang seseorang yang rajin berpuasa di siang hari dan sering bangun di tengah malam untuk sembahyang, namun  acap kali menyakiti hati tetangganya dengan lidahnya. Nabi ini menjawab singkat : 'Ia diazab di neraka !'.

Ternyata, sekedar menjalankan  syariat puasa atau sembahyang saja tidak  cukup menghantarkan orang kepada kebahagiaan dan kesejahteraan. Ibadah ibadah ritual ini yang mulanya ditujukan untuk menundukkan ego kita, justru semakin memperkuatnya . Saya menyebutnya sebagai 'Egoisme Spiritual'.

Dengan kata lain, tidak ada artinya kita menjalankan syariat ibadah ritual atau melakukan  latihan latihan penghayatan spiritual atau kebatinan atau apapun namanya - yang akhir - akhir ini sangat digandrungi orang - jika hal tersebut tidak  berpengaruh terhadap perilaku personal dan sosial kita. Kasarnya, kita hanya buang buang waktu dan tenaga saja !.

Agama yang 'benar'  mengajarkan bahwa penghayatan terhadap ibadah ritual harus dibarengi - dalam satu tarikan nafas - dengan kesediaan mengorbankan 'ego' kita  lewat tindakan konkrit yakni berkhidmat kepada sesama manusia serta menampilkan akhlak yang baik  di dalam pergaulan kemasyarakatan.

Diantara akhlak yang baik itu adalah tidak merasa paling benar sendiri sembari menyalah nyalahkan orang lain serta tidak mengejek , menghujat atau menghina ajaran agama atau kepercayaan orang lain yang sebetulnya dia sendiri tidak meyakini dan memahaminya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar