Syahdan, 2 orang pendekar sufi abad pertengahan saling berbincang bincang.
Sufi yang satu bertanya kepada temannya, "Ceritakanlah, apa yang
menyebabkan kamu sampai kepada keadaanmu seperti sekarang ini ?".

Dia menjawab, "Pada suatu hari aku pergi ke padang pasir. Disana, aku melihat seekor burung yang tergeletak dan hampir mati karena kelaparan. Sesaat kemudian, di angkasa raya aku melihat seekor burung yang terbang melayang layang ; di paruhnya ada beberapa ekor cacing. Tiba tiba, dia turun menukik ke tempat burung yang tergeletak itu lalu menjatuhkan cacing cacing itu ke tanah untuk dimakan burung yang tergeletak. Si burungpun selamat.
Aku betul betul takjub. Aku berfikir, seekor burung yang tergeletak dan
tak berdaya di padang pasir yang sepi saja masih mendapatkan rezeki
dari Tuhan. Karena itulah, aku tinggalkan perdaganganku, aku sibukkan
diriku hanya semata mata untuk beribadah kepada Tuhan".
"Luar biasa kisahmu, kawan !", kata temannya, "Namun, yang masih
menjadi tanda tanya besar di benakku ialah kenapa kamu memilih menjadi
burung yang tergeletak tak berdaya itu dan tidak memilih menjadi
burung yang mengantarkan makanan kepada temannya itu ? ".
Perbincangan pendek di atas sebetulnya mewakili pandangan sebagian
kita tentang fungsi agama dan kepercayaan di tengah tengah masyarakat .
Ada sebagian orang yang menggunakan agama atau kepercayaan mereka
untuk sekedar memuaskan dahaga spiritual atau merasakan nikmatnya
'menghadirkan' Tuhan di dalam hatinya , tanpa perduli dengan nasib
orang orang yang menderita di sekelilingnya atau bahkan tidak jarang
menzalimi mereka.
Beberapa waktu yang silam, kita dikejutkan dengan terungkapnya sebuah
kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh seseorang yang dikenal
sebagai 'master dan guru spiritual' . Kasus yang samapun terjadi 14
abad yang lalu. Kepada seorang Nabi di tanah Arab pernah dilaporkan
tentang seseorang yang rajin berpuasa di siang hari dan sering bangun
di tengah malam untuk sembahyang, namun acap kali menyakiti hati
tetangganya dengan lidahnya. Nabi ini menjawab singkat : 'Ia diazab di
neraka !'.
Ternyata, sekedar menjalankan syariat puasa atau sembahyang saja
tidak cukup menghantarkan orang kepada kebahagiaan dan kesejahteraan.
Ibadah ibadah ritual ini yang mulanya ditujukan untuk menundukkan ego
kita, justru semakin memperkuatnya . Saya menyebutnya sebagai 'Egoisme
Spiritual'.
Dengan kata lain, tidak ada artinya kita menjalankan syariat ibadah
ritual atau melakukan latihan latihan penghayatan spiritual atau
kebatinan atau apapun namanya - yang akhir - akhir ini sangat
digandrungi orang - jika hal tersebut tidak berpengaruh terhadap
perilaku personal dan sosial kita. Kasarnya, kita hanya buang buang
waktu dan tenaga saja !.
Agama yang 'benar' mengajarkan bahwa penghayatan terhadap ibadah
ritual harus dibarengi - dalam satu tarikan nafas - dengan kesediaan
mengorbankan 'ego' kita lewat tindakan konkrit yakni berkhidmat kepada
sesama manusia serta menampilkan akhlak yang baik di dalam pergaulan
kemasyarakatan.
Diantara akhlak yang baik itu adalah tidak merasa paling benar sendiri
sembari menyalah nyalahkan orang lain serta tidak mengejek , menghujat
atau menghina ajaran agama atau kepercayaan orang lain yang sebetulnya
dia sendiri tidak meyakini dan memahaminya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar