Prof. Rhenald Kasali adalah seorang Guru Besar dalam Ilmu Manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Dua wanita terkenal Indonesia yang pernah menjadikan Prof. Rhenald sebagai mentor mereka sewaktu menempuh pendidikan lanjut di Universitas Indonesia, ialah Ibu Mooryati Soedibyo dalam program doktoral serta Dian Sastro dalam magister manajemen.
Dua wanita terkenal Indonesia yang pernah menjadikan Prof. Rhenald sebagai mentor mereka sewaktu menempuh pendidikan lanjut di Universitas Indonesia, ialah Ibu Mooryati Soedibyo dalam program doktoral serta Dian Sastro dalam magister manajemen.
Tatkala berbicara tentang Susi , Prof Rhenald mengatakan : 'Khusus
terhadap Susi, saya bukanlah mentornya. Ia terlalu hebat. Ia justru
sering saya undang memberi kuliah. Dia adalah 'self driver' sejati, yang
bukan putus sekolah, melainkan berhenti secara sadar. Sampai di sini,
saya ingin mengajak Anda merenung, adakah di antara kita yang punya
kesadaran dan keberanian sekuat itu ?'.
Apa yang menyebabkan Susi begitu hebat di mata Prof.Renald, padahal -boro boro punya gelar sarjana - bahkan SMA pun dia tidak tamat ?. Jawabnya adalah Susi memiliki sebuah kemampuan yang disebutnya dengan Metakognisi atau Nonkognisi.
Kemampuan Metakognisi ( Nonkognisi ) adalah kecerdasan memanfaatkan kecerdasan yang kita miliki. Tidak semua orang cerdas memiliki kecerdasan untuk memanfaat kecerdasannya. Diantara kemampuan metakognisi adalah kemampuan bergerak, berinisiatif, self discipline, menahan diri, fokus, respek, berhubungan baik dengan orang lain, tahu membedakan kebenaran dengan pembenaran, mampu membuka dan mencari "pintu".
Metakognisi ini merupakan faktor pembentuk yang paling penting di balik lahirnya para ilmuwan besar, wirausaha kelas dunia dan praktisi - praktisi andal.
Prof Rhenald menulis : 'Dari Susi, kita bisa belajar bahwa kehidupan tak bisa hanya dibangun dari hal - hal kognitif semata yang hanya bisa didapat dari bangku sekolah. Kita memang membutuhkan matematika dan fisika untuk memecahkan rahasia alam. Kita juga butuh ilmu - ilmu baru yang basisnya adalah kognisi. Akan tetapi, tanpa kemampuan nonkognisi ( metakognisi ) , semua sia-sia'.
'Ketiga orang itu mungkin tak sehebat Anda yang senang melihat kecerdasan orang dari pendekatan kognitif yang bermuara pada angka, teori, ijazah, dan stereotyping. Akan tetapi, saya harus mengatakan, studi-studi terbaru menemukan, bahwa ketidakmampuan meredam rasa tidak suka atau kecemburuan pada orang lain, kegemaran menyebarkan fitnah dan rasa benar sendiri, hanya akan menghasilkan kesombongan diri.
Anak-anak kita pada akhirnya belajar dari kita, dan apa yang kita ucapkan dalam keseharian kita juga akan membentuk mereka dan masa depan mereka.
(http://bisniskeuangan.kompas.com/…/Mooryati.Soedibyo.Dian.S…)
Apa yang menyebabkan Susi begitu hebat di mata Prof.Renald, padahal -boro boro punya gelar sarjana - bahkan SMA pun dia tidak tamat ?. Jawabnya adalah Susi memiliki sebuah kemampuan yang disebutnya dengan Metakognisi atau Nonkognisi.
Kemampuan Metakognisi ( Nonkognisi ) adalah kecerdasan memanfaatkan kecerdasan yang kita miliki. Tidak semua orang cerdas memiliki kecerdasan untuk memanfaat kecerdasannya. Diantara kemampuan metakognisi adalah kemampuan bergerak, berinisiatif, self discipline, menahan diri, fokus, respek, berhubungan baik dengan orang lain, tahu membedakan kebenaran dengan pembenaran, mampu membuka dan mencari "pintu".
Metakognisi ini merupakan faktor pembentuk yang paling penting di balik lahirnya para ilmuwan besar, wirausaha kelas dunia dan praktisi - praktisi andal.
Prof Rhenald menulis : 'Dari Susi, kita bisa belajar bahwa kehidupan tak bisa hanya dibangun dari hal - hal kognitif semata yang hanya bisa didapat dari bangku sekolah. Kita memang membutuhkan matematika dan fisika untuk memecahkan rahasia alam. Kita juga butuh ilmu - ilmu baru yang basisnya adalah kognisi. Akan tetapi, tanpa kemampuan nonkognisi ( metakognisi ) , semua sia-sia'.
'Ketiga orang itu mungkin tak sehebat Anda yang senang melihat kecerdasan orang dari pendekatan kognitif yang bermuara pada angka, teori, ijazah, dan stereotyping. Akan tetapi, saya harus mengatakan, studi-studi terbaru menemukan, bahwa ketidakmampuan meredam rasa tidak suka atau kecemburuan pada orang lain, kegemaran menyebarkan fitnah dan rasa benar sendiri, hanya akan menghasilkan kesombongan diri.
Anak-anak kita pada akhirnya belajar dari kita, dan apa yang kita ucapkan dalam keseharian kita juga akan membentuk mereka dan masa depan mereka.
(http://bisniskeuangan.kompas.com/…/Mooryati.Soedibyo.Dian.S…)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar