Beberapa
tahun yang silam, di dalam sebuah acara temu ilmiah , saya bertemu
dengan seorang teman sejawat yang bertugas di di daerah Indonesia bagian
Timur.
Di akhir perbincangan kami, dia berkata, 'Beberapa tahun terakhir ini saya sudah tidak lagi melakukan operasi katarak'.
'Looh...., kenapa ?', tanya saya.
'Saya tidak mau lagi membuat para pasien saya menderita akibat komplikasi operasi dan kemudian harus menghadapi tuntutan mereka ', jawabnya.
Sebagai sesama teman sejawat, tentu saja saya harus menghormati pilihannya itu. Namun, saya bisa 'mencium' ada aroma ketidakberdayaan, keputusasaan, apatisme dan pesimisme di dalam ucapannya itu.
Di akhir perbincangan kami, dia berkata, 'Beberapa tahun terakhir ini saya sudah tidak lagi melakukan operasi katarak'.
'Looh...., kenapa ?', tanya saya.
'Saya tidak mau lagi membuat para pasien saya menderita akibat komplikasi operasi dan kemudian harus menghadapi tuntutan mereka ', jawabnya.
Sebagai sesama teman sejawat, tentu saja saya harus menghormati pilihannya itu. Namun, saya bisa 'mencium' ada aroma ketidakberdayaan, keputusasaan, apatisme dan pesimisme di dalam ucapannya itu.
Kenyataannya, kita juga sering menemukan cara berfikir yang sama dalam
bidang bidang kehidupan yang lain. Ada orang yang takut berbisnis karena
khawatir bangkrut, misalnya. Atau ada orang orang yang enggan menikah
atau tidak mau menikah lagi dalam waktu yang lama . Alasannya, takut
menzalimi pasangannya atau tidak mau repot repot menghadapi kehidupan
rumah tangga. Inilah pilihan pilihan hidup mereka yang harus kita
hormati !.
Yang saya pahami ialah bahwa setiap pilihan hidup
apapun yang kita ambil pastilah mengandung resiko di dalamnya. Namun,
apakah karena ada resiko di dalamnya, kita harus menghindari pilihan
hidup tertentu dan melarikan diri darinya ?.
Para pakar motivasi
menyebutkan bahwa orang yang sukses itu adalah orang yang berani
menghadapi resiko apapun dan menjadikan resiko ini sebagai tantangan
sekaligus peluang untuk membenahi dirinya sendiri dan membaguskan
hubungannya dengan orang lain sehingga menjadi lebih baik.
Sementara para pecundang adalah orang yang dianugerahi Tuhan banyak
kesempatan di dalam kehidupannya tetapi tidak berani menghadapi resiko
untuk menjalaninya karena tidak mau mengatasi ketidakberdayaan,
kelemahan dan kekurangan dirinya sendiri. Menurut saya, orang orang
seperti ini, kurang layak dijadikan panutan dan teladan.
Salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar